Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Adikku, waktu kau lahir, aku juga masih kecil, aku bisa melihat, Watak tokoh ibu sebagai seorang yang menerima keadaan

Cermati kutipan teks sastra berikut !
Teks 1
Adikku, waktu kau lahir, aku juga masih kecil, aku bisa melihat, tapi terbatas. Mendengar juga Cuma sepotong. Aku tak bisa menyimpulkan. Jadi, catatan sejarahku, tergantung pada omongan orang. Kalau takut, mata ku pejam, ibulah yang lebih tahu. Sejarahku pun pincang sebatas yang ingin kulihat, yang terpaksa aku dengar. Aku juga tak percaya kenapa hidup lebih menakutkan dari mimpi. Dikejar setan dalam tidur, aku meloncat bangun dan setannya tak bisa memburu keluar. Tapi, dalam kejadian nyata, kalau mau lari, ke mana ? Jadi, lebih baik kulupakan saja kejadian pagi itu. Kuanggap seperti tak pernah terjadi. Karena aku tak mengerti. Aku bingung. Bapak yang selalu mengurut kakiku sesudah seharian mengejar capung di lapangan, subuh itu ditarik keluar rumah. Aku bangun, tapi ibu memegang tanganku, menutup kepalaku dengan selimut. Tapi, waktu dia mengintip ke luar dari kisi-kisi dinding, aku ikut ngintip. Lalu kulihat bapak berlutut di halaman. Kakek mengangkat kelewang dan aku tak sadarkan diri. Waktu aku buka mata lagi, aku tak pernah lagi lihat bapak.  Ibu bilang bapak sudah berangkat jauh, terlalu jauh, mungkin tak kembali sampai kamu lahir, besar, dan katanya juga, mungkin sesudah aku dan kamu berkeluarga, kita semua akan menyusul. Kata ibu, bapak akan menunggu di situ.


“Sejarah”, Putu Wijaya 

Teks 2
Anakku, kebetulan kamu nanya. Memang, Ibu mau bercerita. Tetapi, dengarkan saja, jangan menyela, jangan banyak bertanya. Di dalam kehidupan tidak semua pertanyaan ada jawabannya. Ada yang terpaksa kita biarkan karena jawabannya bertentangan dengan tetangga. Kalau dijawab, kita akan bertengkar. Padahal, bagaimana kita hidup tenang kalau tidak rukun dengan tetangga ? Mereka juga begitu. Kiat wajib menjaga perasaan masing-masing. Jadi, nanti kalau setelah mendengar cerita ini kamu mau bertanya, tanya saja hati kamu. Atau tanya kawan-kawanmu sendiri yang sekiranya akan mau memberikan jawaban. Jangan bertanya karena ingin menuntut keadilan. Jangan berperkara di masyarakat. Itu tempatnya di pengadilan. Bertanya itu untuk mendengarkan cerita, jangan menuntut apa-apa. Sudah bukan zamannya. Bapakmu sebelum pergi, minta maaf atas kesalahannya karena ia lebih memikirkan partai. Lupa, kamu yang ada dalam kandungan ibu adalah juga kewajibannya. Sebagai bapak, aku wajib untuk mengantar anakku tumbuh sampai dewasa, katanya. Sampaikan nanti, kalau dia sudah besar, aku minta maaf, katanya. Sekarang, aku permisi pergi duluan karena aku sudah dijemput. Usahakanlah dengan segala cara asal benar supaya mereka, amksudnya kamu dan kakakmu, mendapat pendidikan yang baik sehingga nanti dia bisa mengerti sendiri apa yang sudah terjadi. 
“Sejarah”, Putu Wijaya
Watak tokoh ibu sebagai seorang yang menerima keadaan pada kutipan teks (2) dideskripsikan oleh pengarang melalui ....
    A.   pikiran-pikiran tokoh 
    B.    bentuk lahir tokoh 
    C.    lingkungan tokoh 
    D.   dialog antar tokoh 
    E.    tanggapan tokoh lain 

Pembahasan:
Watak tokoh ibu sebagai seorang yang menerima keadaan pada kutipan teks (2) dideskripsikan oleh pengarang melalui dialog antar tokoh

Jawaban: D
------------#------------
Semoga Bermanfaat
Jangan lupa komentar & sarannya
Email: nanangnurulhidayat@gmail.com
WA /LINE : 081 669 2375

Post a Comment for "Adikku, waktu kau lahir, aku juga masih kecil, aku bisa melihat, Watak tokoh ibu sebagai seorang yang menerima keadaan"